Dialog LXXXI: Dua Jalan Menuju Tomorrowland (Bag. 2/2)


interstellar dan tomorrowland memiliki banyak kemiripan sebagai film sci-fi, tapi sekilas keduanya menampilkan topik yang berlawanan: utopia dan distopia.



tomorrowland menampilkan dunia imajinatif yang utopis, tempat perkembangan teknologi tidak terhalangi politik, birokrasi, dan sifat alami manusia yang destruktif. interstellar menampilkan planet bumi yang sudah semakin sulit ditinggali karena 'blight' (terjemahannya di bahasa indonesia adalah 'hawar' ...) yang menjangkiti jenis tanaman tertentu, mengakibatkan krisis pangan dan badai debu rutin.

dalam distopia versi interstellar, manusia hanya fokus pada bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan makanan, mengabaikan yang lainnya. bahkan, mengabaikan pencapaian historis mereka dalam teknologi dengan mengajarkan bahwa pencapaian manusia di bulan hanya strategi publisitas brilian yang dilakukan amerika untuk memprovokasi uni soviet menghabiskan uang lewat space race hingga bangkrut. masyarakat seakan dibuat agar fokus untuk bertahan hidup saja dan berhenti melakukan pemborosan seperti penelitian dan penjelajahan ruang angkasa. nasa ditutup, karena masyarakat demokratis menganggapnya pemborosan. tapi bumi semakin tidak layak ditinggali, satu per satu jenis tanaman pangan terserang 'blight' dan punah.

frank di tomorrowland memberikan anti-thesis yang menarik soal hal tersebut. saat ditanya mengapa dia membuat jet pack, dia hanya menjawab: 'just for fun'.
'bagaimana jika suatu saat ada orang yang pake jetpack melintasi kepala kita? bukankah kita bakal terinspirasi bahwa segalanya mungkin kita lakukan?'
tapi pola pikir seperti itulah yang mungkin membuat frank membuat the monitor. dia membuat alat itu tanpa melihat konsekuensinya. dia termasuk ilmuwan yang melakukan sesuatu karena bisa melakukannya tapi tidak berhenti untuk bertanya, apakah dia harus melakukannya? banyak kemajuan teknologi kita saat ini dibuat dengan pola pikir yang sama dan berujung dengan tidak baik.

nope. justru pola pikir seperti itu, yang mendorong kita untuk terus menembus batas hal-hal yang bisa dilakukan manusia, yang pada akhirnya membuat peradaban maju. banyak hal menjadi lebih baik karena teknologi. kita banyak mengeluh karena terlalu fokus pada teknologi yang digunakan dengan tidak tepat, yang berakibat misalnya kerusakan alam dan gaya hidup instan, yang menjadi penyebab kita menggunakan obat penggemuk hewan dan tanaman pangan yang dimodifikasi secara genetis. tapi secara umum, perkembangan teknologi selalu berdampak positif.

karena itulah, setting tomorrowland sebenarnya adalah distopia juga, atau mengarah ke sana. dunia nyata, pada film tomorrowland, terancam kehancuran karena orang-orang tidak berusaha menghentikannya padahal sudah mengetahuinya. yah, memang sih agak diturunkan nuansa gelap distopianya agar lebih cocok buat anak-anak (btw ratingnya di indonesia untuk remaja sih).

lebih tepatnya, tomorrowland menantang kita soal distopia yang banyak ditampilkan di media massa dan hiburan. kapan terakhir kali kita melihat film yang menggambarkan masa depan sebagai tempat yang sangat makmur dan maju? saya pertama kali melihat masa depan lewat doraemon. oleh fujiko f. fujio, abad 22 digambarkan sangat canggih dengan mobil terbang, baling-baling bambu, robot, dan teknologi ramah lingkungan. kemudian ada jetsons yang masih juga menampilkan gaya hidup ultra-modern, mobil terbang, dan robot. lalu saya berjumpa dengan terminator dan the matrix. lalu saya mulai akrab dengan kata post-apocalyptic yang ada pada game, film, dan buku. dalam film, dunia selalu hancur entah oleh zombie, kriminal, perang nuklir, atau robot. dan yang paling menyeramkan: idiocracy (oh... the horror...).

dan adegan pertanyaan casey di sekolah menantang ide ini: oke, kita udah tahu kalo dunia kita memburuk nih, bahkan kita udah bikin skenario-skenario fiktif untuk mensimulasikan keadaan ini dan penyebabnya, terus, skenario-skenario distopia ini mau kita apakan? 'can we fix it?'. kita terlalu mabuk dengan kisah-kisah distopia tapi lupa bahwa kita harus berbuat sesuatu untuk menghentikannya.

cerita dengan latar distopia lebih mudah dibuat karena membuat sosok kepahlawanan lebih mencolok. tidak ada pahlawan tangguh dan pemberani yang tampil pada masa damai. kisah pengorbanan selalu lebih dramatis jika berlatarkan peperangan. pesan untuk tidak menyerah jadi lebih sampai. seperti di interstellar, cooper tampil menjadi pahlawan bagi umat manusia yang terancam punah di bumi dengan membantu mereka memberikan data untuk membuat stasiun ruang angkasa yang bisa membawa orang-orang bumi ke luar angkasa. pada akhirnya mungkin utopia dicapai juga, tapi dengan proses yang berkesan serta memiliki nilai untuk disampaikan. mungkin inilah mengapa konflik pada tomorrowland agak suck. penyebabnya adalah: pada dunia utopis seharusnya tidak ada masalah besar lagi. di sini, masalah muncul dengan agak dipaksakan.

well, ok, pada akhirnya keduanya berbicara tentang pentingnya teknologi untuk menuju masa depan. tapi kita masih punya masalah dengan pola pikir fatalis paranoid soal distopia yang malah tidak mmebuat kita lebih baik dalam berjuang untuk utopia. di film tomorrowland, david yang memimpin tomorrowland menyusupkan ide-ide distopia pada orang-orang, namun mereka tetap tidak ada rencana untuk menghentikannya. karenanya dia putus asa dan ilmuwan lain, yang tadinya turut mengembangkan teknologi di tomorrowland untuk menyebarkannya di dunia nyata suatu saat, juga menyerah karena sudah tahu dunia akan hancur. david menyimpulkan bahwa manusia di luar tomorrowland terlalu rakus dan bodoh.

dan disitulah masalah dalam kisah-kisah distopia: kita tidak percaya bahwa kita bisa mengatasinya. distopia dibangun berdasarkan pola pikir: 'oh, orang-orang (selain gue) itu bodo, males, jahat, blahblahblah, jadi kalau kebanyakan orang masih kayak gitu, dunia bakal kayak gini'. atau 'kiamat itu tidak bisa dihindari'. well, kalau kita tidak mencoba untuk mencegahnya, tidak ada bedanya kiamat dan bukan kiamat. kita tidak menaruh kepercayaan pada orang-orang bahwa bersama kita masih bisa mencegah segala skenario distopia.

well, tapi harus diakui kalau cerita dengan setting utopia lebih menarik dan lebih punya pesan dan cerita dengan setting distopia itu booring.

er... oke... sejujurnya saya pikir menulis cerita baik berlatar distopia maupun utopia akan menarik sih. apapun yang kita dapat dari suatu film, atau media hiburan lainnya, ada baiknya kita pergunakan untuk menjalani hidup dengan lebih baik menuju masa depan.

bagaimana kalau masa depan ternyata bukan keduanya? ada ga sih istilah untuk kondisi dunia seperti saat ini yang bukan distopia dan bukan utopia?

entahlah, tapi bisa jadi kita tidak mencapai distopia ataupun utopia. tapi kita tidak akan mengejar status quo, ataupun distopia. menggubah pepatah yang disebutkan di film tomorrowland, soal 2 serigala di dalam diri kita, bisa kita katakan juga bahwa di masa depan ada 2 serigala, utopia dan distopia, keduanya bertarung.

who will win?

the one we f-

who's next?
you decide!



eeepic
rap
battle
of
history!!!!

-_-

tomorrowland maupun interstellar, terlepas ketidakakuratan teori dan kekurangan teknis di dalamnya, adalah film yang berhasil menggoda saya menjadi pemimpi lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Dialog LXXX: Banyak Jalan Menuju Tomorrowland (Bag. 1/2)