Dialog LXXXII: Kaleidoskop 2024
10 tahun hampir blog ini diabaikan karena sudah menyebar
tulisan di berbagai medium. Ada yang di ... medium dan berbagai publikasi
yang kubikin di dalamnya, ada yang di akun-akun sosmed (FB, IG, Twitter, Linkedin, ...), ada juga
di Rakata, dan terakhir, paling sering di website personal.
Dan pada titik ini, kamu jarang isi di semua platform
itu, sih. Dengan puasa sosmed dan kemalasan lainnya.
'Kemalasan lai-' aku tidak malas! Tiap platform ada
peruntukannya dan selama 10 tahun terakhir merasa tidak perlu mengumbar semua
yang bisa ditulis.
Yah, apapun. Terserah. Blogspot sendiri platform mati.
Relik dari zaman dot-com boom. Mungkin pada suatu titik di 10 tahun itu kita
pernah sepakat untuk membiarkan tempat ini jadi gudang arsip masa lalu saja.
Lalu lupa. Mungkin pernah kita tulis, tapi 'MeNuliS BiAr tIdaK luPa'. Weeeek!
Cih! Aku lupa, bahkan lupa kenapa kemarin nemu link blogspot
lalu ngecek. Oh, kalau ga salah, waktu cek signature surel yang masih ngasih
link ke sini.
Lalu, baru ingat kalau 'ini' salah satu caramu menulis
kan?
Tidak lupa soal itu. Kadang, di buku harian begini juga. Ah,
mungkin begitu saja. Karena sayang kalau cuma jadi gudang, aku coba aktifkan
blog ini lagi dengan racauan yang personal. Jauh dari self-branding, peruntukan
pembaca, atau macem-macem. Sesuatu di antara tulisan publik dan diari yang
tidak akan diumbar tapi bisa ditemukan.
Ngobrol begini self-branding sih, tapi sudahlah. Mau
ngomong apa?
Aku ingin mengenang 2024. Serasa tahun lain yang kosong dan
hanya diisi nyampah. Namun, sebenarnya tidak begitu. Aku ingin langkah-langkah
kecil di tahun itu, yang mungkin tidak berarti buat orang lain tapi berarti
bagiku, tidak AKU lupakan.
Masih geli karena seingatku dulu kamu tidak biasa bilang
'aku'. Sejak kap-
2021. Nah. Mulai dari...
Januari ke Surabaya
12 Januari aku sendirian naik kereta malam ke Surabaya.
Tujuannya hanya untuk mengikuti sesi pembekalan luring untuk sertifikasi Unity.
Biar ga kehabisan energi, aku singkat saja jelasinnya.
Perjalanan ini singkat, hanya 1 malam di penginapan yang fotonya menipu. Namun,
aku sempat ke mall, jalan-jalan ke alun-alun kota, dan melihat kota yang
terakhir kali ku kunjungi waktu iseng sama Abah nyobain jembatan Suramadu.
Sebenarnya kalau 'kunjungan' yang bener-bener turun kaki di kota sepertinya
terakhir waktu study tour kuliahan tahun 2008 ke PT PAL. Oh, dan kalau kuingat
lagi, aku pertama kali naik kereta juga ke Surabaya. Waktu SD, mungkin, berkunjung
ke Bi Entan yang dulu masih tinggal di sana. Aku tidak ingat kota itu seperti
apa dulu, karena yang kuingat cuma waktu berantem rebutan main Nintendo sama
Dika.
Kota yang membosankan ya. Mungkin kalau lebih lama
lagi...
Bakal boncos. Lol. Lagian pembekalannya juga boring. Tatap
muka harusnya lebih interaktif dan lepas. Tapi, ini hanya sedikit lebih
engaging daripada webinar. Kalau aku coba mengingat waktu itu, rasanya jadi
ngantuk.
Dan kamu ngabisin hampir sejutaan buat ke sana.
Tapi tetep worth it, sih. Meski ga tahu kenapa sempat merasa
ketakutan waktu bermalam di penginapan yang bikin ngerasa ga siap buat
sering-sering bepergian, perjalanan ini jadi 'highlight' bulan Januari.
Intermezzo: Pegang duit komplek
Mulai bulan ini sampai sekarang, aku jadi bendahara komplek.
Ngurus gajian satpam, ngumpulin iuran, bikin laporan, dan juga jadi tempat
utangan Satpam. Bukan ngutang duitku tentunya. Rekap keuangan dan ngamplopin
duit udah jadi kegiatan bulanan. Secara umum, aku ingin udahan, tapi aku
merasakan dampak positifnya, setidaknya terkait sosialisasi dengan tetangga.
Februari adalah Bulan Politik, yang Manjang sampai Akhir Tahun
20 Februari ada pemilu dan aku cukup rajin menuliskan
pemikiran-pemikiran terkait politik di Medium. Aku menyebutnya BERISIK, Beres-Beres
Isi Kepala Soal Politik.
Cringe, ih.
Iya, sih, dipikir-pikir. Intinya aku cuma mau buang hal-hal
terkait politik dari kepala. Memang, sih, agak berharap ada yang baca dan
tergerak untuk berubah pikiran, tapi-
Tapi Allah sudah menuliskan takdir bahwa pemilu ini sudah
dituliskan hasilnya oleh bajingan.
Dan, biar tidak lupa, kita ingatkan lagi bahwa rezim Jokowi
adalah net negative buat lingkungan, ekonomi, kemanusiaan, dan pemerintahan
yang baik serta bersih. Jaga-jaga kalau di buku sejarah cuma ditulis yang
baik-baiknya saja. Yang buruknya banyak, dan bisa diteliti.
Fyuh, begitulah. Dan, situasi politik yang makin ngaco
membuat saya makin tergerak. Khususnya 22 Agustus dan 5 September.
Namun, menjelang akhir tahun dan pilkada serentak, aku
semakin lelah. Sampai-sampai harus puasa Twitter dan sosmed secara umum.
Kecuali YouTube. Alasannya bukan cuma itu sih.
Pilkada juga diatur seperti pemilu. Meski mungkin pilihan
saya kali ini lebih sesuai 'skenario' mereka.
Sekarang aku jarang nonton berita, jarang tahu drama-drama,
hanya yang lewat di YouTube atau newsletter Tempo. Aku berharap, yang
dikhawatirkan para ahli, aktivis, dan jurnalis beneran itu tidak terwujud. Aku
fokus pada yang bisa kuhadapi saja hari ini.
Kamu ga nyerah, kan?
Saat ini, tidak. Hanya mungkin tidak terlalu anti sama
pemerintahan. Namun, sangat-sangat berharap tidak perlu berkompromi dengan
kebobrokan pemerintah untuk bisa maju dalam hidup.
Maret Menulis 1.000 Kata per Hari.
Tapi ga juga, lol. Kadang dirapel, kadang kurang. Ceritanya
aku ikutan program Rakata Writing Party yang isinya nulis novel di platform
Rakata dalam 30 hari. 1 hari, 1 bab, 1.000 kata.
Lalu, aku buat cerita sci-fi post-apocalyptic yang
terinspirasi Kriegsfront, game belum jadi bikinan Toge. Bahkan bikin sampul
chapter, di awal-awal, pake Kriegsfront Battlescaper, demo level editor dari
game tersebut.
Cape, susah fokus, susah konsisten. Susah inget detail
alurnya karena ada kerangka pun tetap belok pas ditulis. Lol. Tapi, seru juga
bisa ngalamin ini.
Pada akhirnya yang kubuat benar-benar karya yang agak
mentah. Ratusan tahun cahaya dari maha karya, tapi setidaknya, sebuah karya
jadi. Aku harap ada yang baca sih...
Sekarang, bisa sedih beneran karena karyanya ga dibaca
ya. Lol. Biasanya sedihnya karena liat banyak buku di Gramedia tapi ga tahu
kalau ada yang baca atau ga.
Oke diem. Sekarang aku jadi sedih. Padahal ini kan bukti
bahwa aku bisa bikin sesuatu!
Yang jadi! Bukan yang ditinggal pas belum beres. Hehe.
April Ngapain, Ya?
Karena ga inget April ngapain aja, aku mau cerita soal
menggambar dan bikin review film. Dua hal yang sudah sering kulakukan sejak
setidaknya tahun lalu. Meski dengan 'penyesuaian'.
*Pengurangan.
Heh, kan biar variasi rutinitas.
Gambar Corat-Coret dan Nonton
Intinya aku tidak maksain menggambar atau latihan tiap hari
seperti dulu. Kadang gambar fanart sehabis nonton, kadang doodling buat
menghias tulisan, gitu aja. Terakhir gambar memang dibarengi sama review film.
Dan, soal review, aku juga jadi jarang maksain bikin review
sehabis nonton. Jumlah film yang kutonton di bioskop juga lebih sedikit.
Niatnya memang lebih banyak nonton film lokal atau film luar non-Hollywood,
tapi karena film lokal ga sebagus tahun sebelumnya, juga karena mager dan
berhemat, jadi jarang ke bioskop. Review pun lebih singkat. Hanya posting di
sosmed. Panjangan dikit, diposting di Kasumba.id.
Seenggaknya inget dong film paling berkesan?
Hmm... film lokal, paling Agak Laen, Kaka Boss, dan Bonnie.
Yang terakhir itu film aksi kelas B tapi sound effectnya... krenyes-krenyes
volley patah tulang dan wajah remuk.... ah, ASMR banget.
ASMR pukulan dan patah tulang?
Iya. Lalu apa lagi ya? Oh, Siksa Kubur dan KKN2, nonton
back-to-back.
Kalau film luar kebanyakan anime. Dari film The Boy and The
Heron, aku belajar bahwa... sepertinya aku gak suka Ghibli. Eh tapi nonton
Ponyo di Netflix seru sih. Terus nonton Look Back, nonton manganya pertama kali
lebih sedih. Terakhir, The Color Within, film yang bagusnya cuma buat vibe aja.
Berkesan kok, musiknya juga asik.
Bukannya terakhir itu Bila Esok Ibu Tiada ya?
Agak kureng, so... lupain. Hehe.
Secara umum, sebenarnya aku pingin pindah dari banyak review
film ke review game. Jadi...
Mei Mulai Game Diary
Entah kesambet apa, aku mulai nulis pengalaman nge-game
harian. Sekalian buat aktivasi akun IG Kasumba. Sekalian maksain jadi reviewer
game sambil belajar game design nya. Tapi masih sedikit sih.
Intinya sih, mungkin biar ga ngerasa nyampah main game mulu
tiap hari. Seenggaknya cerita apa yang didapet dari main game. Aku
"lumayan" rutin bikin ini, nulis, desain di Canva, lalu post di IG.
Seenggaknya cukup rutin hingga awal Juni. Mungkin sesekali kedepannya bakal
bikin lagi. Tapi, lebih ke devlog dan review. Pinginnya.
Gamenya juga itu-itu aja. Tapi bisa dilihat di sini kan?
Mending di sini sih: Gaming Diary – Kasumba Games.
Kalau nanti nulis lagi soal gaming dan review game, kayaknya bakal dilanjutin
di blog itu. Kemarin cuma jalan sebulanan sampai awal Juni meski nambahin lagi
sesekali sampai Desember.
Intermezzo: Game Loop
Oh sedikit ngobrolin soal game yang sering saya mainkan
waktu itu. Pertama tentunya Genshin Impact yang belum mau saya lepas dari 2021
sampai sekarang.
Ngaku kecanduan.
Ya! Mungkin juga lebih ke penasaran atau nanggung aja kalau
dilepas sekarang. Ceritanya belum beres, experience-nya belum full. Bakal gatel
kalau ditinggal.
Ah, sakau.
Anyway! Genshin makin sepi konten karena ingin ngalihin user
ke game-game lain bikinan developernya. Sesi harian juga lebih singkat. Entah
sejak kapan, ada masalah dengan serikat pekerja VA berbahasa Inggris di US
sehingga suara VO Inggris tidak muncul di game. Ini masalah yang makin parah
sampai sekarang. Aku ga ngikutin soalnya biasa pakai VO Mandarin. Semoga cepat
selesai.
Kamu melewatkan banyak kompleksitas terkait tuntutan
serikat pekerja di dunia hiburan di sini.
Terlalu kompleks dan ga terlalu ngikutin. Yang bisa lumayan
aku pahami adalah soal Natlan yang budayanya gado-gado dari berbagai budaya
'tribal' tapi tidak terlalu merepresentasikan tampilan fisik budaya tersebut
dalam playable character-nya. Ini juga panjang, jadi sudahlah. Lanjut ke
game...
Hades. Game rogue-lite terkenal yang rilis beberapa tahun
lalu. Gameplaynya well-polished dan desain naratifnya menarik. Masih pingin
namatin. Katanya untuk dapat ending beneran harus namatin 10 kali -_-. Yah,
kapan-kapan. Eh, pas beresin tulisan ini, baru tamat.
Terakhir, Citampi Stories. Game simulasi yang berhasil
profit dari market lokal. Cukup adiktif. Tapi lupa sejak kapan, aku tiba-tiba
males lanjutin. Mungkin karena iklannya makin banyak.
Oh, honorable mention: Paper Please, game naratif yang
sering jadi contoh game bermuatan kritik sosial atau politik. Kadang terlalu
susah dan terlalu berat di mental ._. jadi agak berat buat maen lagi meski
penasaran.
Intermezzo: ...reuni
25 Mei ada reuni DA. Orang-orang yang jarang datang sampai bisa
hadir di sini. Aku tentunya sudah ga nyaman sama mereka dan rokoknya. Yang
paling dikangenin pada ga datang. Dan karena kebetulan lagi banyak orang di
rumah, aku jadinya pulang lebih awal dan ga ikut nginep. Tapi ditahan-tahan
sama sponsor acara biar denger dia ceramah dulu. Akhirnya pulang kemaleman,
ampir kehujanan, di tengah kemacetan yang gelap, ngebonceng Erwan dari Ciwidey
sampai Bandung. Yah, bawa banyak merchandise juga yang banyak kepake sampai
sekarang. So, it's fine.
Keep in touch with them.
Juni Icip Godot
Sudah cukup mainnya. Mari fokus belajar programming.
Gak dari awal tahun?
... Aku ga ngerti dan ga inget tahun kemarin dari Januari
sampai Juni ngapain aja soal belajar game development. Gini nih kalau ga ada
catatannya. Emang sih Januari dan Februari-an ada sertifikasi Unity. Tapi di
luar itu...
Cek di Notion kayaknya
sih kamu berusaha buat bikin ngegodog beberapa konsep game dan GDD.
Eh emang link itu publik?
Pokoknya kamu ga kosong dari mikirin game dev sih sebelum
akhirnya terjun ke Godot.
Semoga begitu. Jadi, aku mulai melirik Godot setelah...
kasus Unity Runtime Fee?
Eh itu bukannya 2023?
Eh, iya ya? Intinya sekitaran Juni, aku tiba-tiba mau fokus
di Godot saja dan mencoba mendukung proyek open source. Moga aja kalau banyak
dukungan bisa sukses kayak Blender. Yah, meski kesuksesannya lebih didukung
sama organisasi yang baik sih.
Aku mulai dari ngikutin video Brackeys, lalu dari tutorial
itu aku mengembangkan game pendek yang niatnya sih beres sebulanan tapi karena
pingin ini pingin itu baru beres... akhir tahun? Aku juga sok-sokan buka Lapak
Godot di channel Discord gamedevID.org, yang sepi sih, dan cuma aku yang ngisi.
Lol.
Kamu benar-benar lapar koneksi ya.
Ya emang butuh! Selain buat memenuhi 'kebutuhan pribadiku',
siapa tahu juga member-member lain butuh wadah buat diskusi spesifik terkait
Godot juga.
Anyway, aku masih belajar Godot sampai sekarang. Sudah
sempet dapet proyek juga pake Godot dan ikut game jam pake Godot. Namun, masih
belum bener-bener bisa bilang kalau aku bisa ngoding pakai Godot.
Lagian Godot juga bukan engine yang standar industri sih.
Unity atau Unreal tetep lebih disarankan.
Juli Jalan Kaki
Atau baru mulai Agustus ya? Aku ga moto-moto pas awal-awal
mulai nyoba jalan kaki ke daerah gang Radio Dalam, tembus ke Gunung Batu, atau
ke Dakota. Yang jelas, pas 17 Agustusan, aku jalan-jalan ke daerah pinggir
Lanud Husein yang ada hangar-hangar pesawat militer, ramai dengan pawai yang
sudah jarang aku lihat beberapa tahun ke belakang.
Dari segi kesehatan, memang hasilnya ga kentara dibanding lari.
Tapi, daripada ga gerak sama sekali. Apalagi kalau bisa setiap hari. Apalagi
kalau bisa 10.000 langkah tiap hari sesuai saran aplikasi olahraga di
handphone.
Bisa tiap hari? Bisa 10.000 sekali jalan?
Tidak, tidak selalu. Fyuh. Setidaknya, aku jadi lebih
mengenal situasi di sekitar daerah sini; kantong-kantong perumahan baru/mewah
atau gated community sepi di tengah pemukiman padat penduduk dengan ratusan
gang dan satu-dua jalur jalan kecil yang ramah dan ramai. Yah, intinya biar
lebih apal ada apa aja sih di dekat rumah. Udah 6 tahun tapi masih buta dengan
area Sukaraja.
Sayangnya kebiasaan ini ga bisa dipertahankan. Sering bangun
kesiangan, lalu males keluar kalau terlalu siang. Atau terlalu malam. Atau
terlalu pagi.
Sayang sekali, padahal rutinitas ini kamu buat karena ga
bisa jaga rutinitas lari pagi. Bahkan seminggu sekali.
Heh. Di Bandung ini, ga ada tempat yang udaranya sehat buat
jogging. Polusi semua. Kalau ga asap kendaraan ya bakar sampah.
Lihat ke bawah; ke dada dan perut. Paham? Kalau ga mau
lari, jalan.
Olahraga fisik ga terlalu berpengaruh buat membentuk badan
dibanding jaga makan. Katanya, sih.
Fisik dan mental, Jar. Fisik dan men sano in corpore
sano.
Intermezzo: Anime! Anime! Anime!
10-11 Juli ke Pangandaran bareng keluarga. Boring, yes,
kayak di Jabar ga ada lagi pantai yang bagus dan fasilitasnya proper aja.
Emang ga ada lagi.
Anyway, momen berkesan di sana itu waktu aku nyepi sendirian
pagi-pagi agak siang di pinggir pantai sambil nonton episode final dari anime
Summer Time Rendering yang ada tema pantai-pantainya juga. Jadi... mari kita
bicara soal anime yang aku tonton tahun ini. Banyak.
Echem!.... WIIIBUUU WIIIBUUU WIIIBUUUU....
Aku ga ngerasa bagian dari kultur wibu ya, jangan salah...
Oke, mungkin, tapi setidaknya aku ga punya 'berhala' atau apa lah di rumah.
Mungkin karena lebih jarang pergi ke bioskop, jadinya banyak
di rumah nonton anime. Apalagi karena ga pake UseeTV, tontonan jadi beralih ke
YouTube atau Disney+ atau layanan streaming lainnya.
Emang ada yang lain?
Well, sempat ada trial Apple TV dari November 2023 sampai
Februari 2024. Paling cuma buat nonton Peanuts pake dubbing jepang, Ted Lasso,
dan Central Park. Cuman yang terakhir yang nontonnya fokus. Eh, Ted Lasso juga
sih, di akhir-akhir.
Anyway, awalnya nonton anime cuma di Disney+. Aku sudah
lihat-lihat dari dulu kalau koleksinya banyak. Tapi entah kenapa ga mau mulai
nonton. Mungkin invested nonton anime itu kayak yang butuh effort dan aku ingin
experiencenya utuh, gitu. Mungkin di suatu waktu, aku mengabaikan hal itu dan
mulai nonton anime di sana. Entah apa dulu. Entah apakah itu diputar sebagai
background noise saja atau sudah mulai ditonton intens. Entah apakah awalnya
diputar sebagai background lalu malah jadi tertarik dan fokus di akhir-akhir.
Bahkan jadi tonton ulang dari awal.
Aku ga tahu apakah tahun sebelumnya juga nonton anime, tapi
aku yakin lebih banyak nonton anime di tahun ini.
Mungkin yang pertama itu Synduality Noir. Anime mecha biasa
sih. Kalau ga salah dari game?
Summer Time Rendering sudah jadi watchlist sejak lama, dan
memang bagus banget dari animasi dan ceritanya. Tapi, entah kenapa kurang
meninggalkan kesan yang sangat spesial. Btw endingnya happy banget :')
Go! Go! Loser Ranger adalah salah satu anime yang tadinya background, tapi jadi
ditonton ulang dengan intens. Menarik, karena aku suka cerita pecundang lawan
jagoan.
Frieren: Beyond Journey's End juga cukup berkesan. Karena
temanya sedih, suka agak berat nontonnya.
Untuk romcom, Kaguya Sama: Love is War adalah anime terbaik
yang ga bosen ditonton berkali-kali. Bentar, aku nontonnya tahun ini kah?
Di YouTube banyak juga anime yang bisa ditonton gratisan,
dengan iklan tentunya. Biasanya ada di channel Muse, baik itu Muse-Asia atau
Muse-Indonesia, dan Ani-one.
Dari platform ini, favoritku adalah Mob 100, yang sayangnya
ceritanya agak dirusuh tiap akhir musim.
Yuru Camp! Puncak anime cozy yang lebih nunjukin vibe
daripada cerita. Dan soundtrack yang cozy banget juga.
Dandadan yang populer di akhir tahun juga tersedia gratis di
Muse-Indonesia. Keren sih.
Waw, ngomongin anime ga berenti. Wibu emang.
Hoho, ini belum puncaknya. Karena aku belum ngomongin soal
anime yang paling mencabik hati dan telingaku di tahun ini.
Macross!
Tepatnya semua seri Macross yang ada di Disney+. Awalnya
jalanin Macross Delta cuman buat background, meksi tahu sekilas anime ini aneh;
anime mecha campur idol! Lalu pas episode-episode akhir aku mulai merhatiin
kalau lagunya enak juga. Jarang-jarang ada anime musikal yang lagunya enak.
Lagu yang pertama nyantol di telinga adalah lagu yang di kemudian hari aku tahu
judulnya Hametsu no Junjou. Sebelum aku mutusin buat nonton ulang anime ini,
aku bahkan sudah mulai coba-coba dengar soundtracknya yang lain, dan memang
oke.
Ada satu soundtrack yang agak beda sendiri karena terlalu
datar. Namun ternyata setelah nonton ulang animenya, lagu itu terkait dengan
adegan kematian seorang karakter. Dan seketika lagu itu menjadi spesial di
telingaku. Dan seketika aku teringat ide soal kontekstualisasi atau
rekontekstualisasi sebuah karya seni. Soundtrack menjadi bagian terpenting dari
anime ini, sebagaimana konteks animenya penting untuk menikmati
soundtracknya.
Bakal panjang kalau ngomongin anime ini. Yang jelas, aku
lanjut nonton Macross Frontier, yang soundtracknya lebih epic karena Yoko Kanno
dan May'n, dan beberapa OVA dari Macross 7.
Subskripsi Disney+ ku pada 7 September diakhiri dengan
nonton Macross Frontier: Labyrinth of Time, yang sudah kutonton beberapa kali.
Aku belum nonton Macross lagi sejak itu, namun sampai sekarang playlistku belum
bisa lepas dari Walkure.
Udahan?
Yak.
Eh, gak. Tapi, udah aku sebut juga sih. Film-film yang
kutonton di bioskop juga banyak yang anime.
Peringatan Darurat di Agustus
Selain jalan-jalan dan mungkin masih ngerjain proyek pribadi
pake Godot, mungkin tidak banyak kegiatan di Agustus. Namun, yang jadi
highlight adalah saat aku nekat ikutan demo Peringatan Darurat pada 22 Agustus.
Mungkin gara-gara terhasut Twitter, dan ngerasa bersalah kalau nge-like atau
retweet postingan yang mendukung demonstrasi, aku memantapkan niat untuk demo.
Aawww! Gimana demo pertama baby Fajar?
Ah, aku sedih sih ga melakukan ini waktu masih mahasiswa.
Masih bisa tergabung dengan organisasi yang relevan dan mengkoordinir aksi,
atau setidaknya punya temen yang bisa ngajakin atau diajakin biar ga ke tempat
aksi sendirian. Kalau punya temen, mungkin aku bakal ikut aksi yang di Jakarta.
Wait, bukannya waktu itu Rama nyari orang yang ikut demo?
Y-ya dia kan di Jakarta.
Poinku, yang bikin kamu ga ke Jakarta bukan ga ada temen,
tapi kurang nekat aja. Ga apa-apa kok.
Anyway! Aku dapat info titik kumpul aksi di Bandung dari IG
dan Twitter, dan aku ke sana sendirian. Parkir di- tunggu, nulis gini di sini
ga apa-apa kah?
Yang paling mempermasalahkan kalau kamu ikut demo
kayaknya sudah tahu kalau kamu ikut demo kok.
Ya siapa tahu belum! Aku ceritain aja sih reaksi orang-orang
di jalan. Ada yang suportif, cuek, ada juga yang memandang dengan tatapan
sinis. Aku suka saat lewat bus wisata anak-anak TK yang sebagiannya mencoba
melihat ke arah rombongan demonstran. Aku mencoba melambaikan tangan ke arah
mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa ini adalah hal yang boleh dan bisa mereka
lakukan untuk melawan ketidakadilan.
Kamu nulis itu?
Oke, sebagai orang yang mungkin diuntungkan dari
ketidakadilan, bisa jadi munafik kalau aku nulis begitu. Begitu pun, aku ingin
anak-anak itu tahu hak mereka saat sudah besar nanti.
Yah, semoga saja kalau ada aksi seperti ini tidak perlu ada
kata-kata yang terlalu kotor atau tidak pantas didengar anak-anak. Soal kata
kasar itu hanya satu hal dari banyak hal yang tidak saya sukai dari demo waktu
itu. Bakar-bakar ban dan barangkal, anak-anak yang kelihatannya SMA dan
kelihatannya hanya ikut buat seru-seruan aja, loud-speaker yang kurang jelas
dan kesannya cuma buat ribut-ribut aja, dan... terlalu keras sama polisi ^_^
lol…
Lol indeed. Untuk demo yang tujuannya disrupsi agar
mendapat perhatian, beneran kamu berharap pakai kata lembut, sepi, senyap,
segar, dan membatasi massa yang tahu-tahu aja?
Masih bisa lebih baik! Kita bisa keras dan berisik tapi
lebih substansial dan euh-
Ini makanya kamu ga jadi aktivis.
Lagian aktivis mah tukang ngudud kabeh.
Aku hanya kuat sampai siang menjelang sore, lalu jalan ke
tempat parkir, dan menghabiskan waktu di suatu tempat. Lalu aku mendengar kabar
kalau malamnya keadaan makin mencekam. Aku merasa ingin membantu, tapi jompo
dan pecundang sepertiku bisa apa? Di tas masih ada sedikit perban. Aku
sumbangkan ke aktivis yang berjaga di barikade.
Dan aktivitasku hari ini semoga bisa menjadi pesan buat yang
berulang tahun hari itu. Salah satunya ponakanku, Syakira, yang sekarang lagi
rewel-rewelnya gak mau ngaji dan mandi. Yah, rewel, rebel.
Ada informasi yang kurang lengkap di sini. Tapi, yah ga
apa-apa. Ga usah semua dibuka kalau kamu sendiri ga paham tujuannya biar apa. Lol.
Intermezzo: Bisakah Aksara Sunda jadi Keren?
Berawal dari ngide bikin logo Kasumba pakai
aksara sunda sejak Mei, aku jadi kepikiran buat ngutak-ngatik bikin kaligrafi
atau tipografi pakai Aksara Sunda Baku. Aksara ini sebenarnya bukan aksara
tradisional yang turun temurun dari zaman kiwari, eh, secara teknis memang
aksara tradisional sih. Namun, aksara ini baru dibakukan pada tahun 1996-an dan
banyak bedanya dengan Aksara Sunda Kuno yang ditemukan di lontar-lontar zaman
kerajaan.
Aku ulik dikit-dikit dan pelajari seluk beluknya sampai coba
cari info ke Perpustakaan Ajip Rosidi, yang tidak punya banyak buku tentang
aksara ini, sih. Aku tidak tertarik untuk melestarikan atau mempopulerkan
penggunaan Aksara Sunda Baku. Aku hanya ingin coba bikin sesuatu yang keren
seperti logo judul anime dalam Aksara Hiragana atau Kanji. Atau ala-ala
grafiti. Intinya pingin bikin sesuatu yang keren dan Aksara Sunda bisa nambah
nilai keunikan dari kekerenan itu.
Btw kamu makin tertarik soal bahasa ya? Maksudnya, kamu
makin sadar tentang pengaruh bahasa dalam cara berpikir dan bermasyarakat.
Masih belum sepenuhnya teryakinkan atau peduli, karena bukan
ahli. Tapi ada hal-hal yang nyangkut di hati sehingga kalau disinggung, mungkin
terpicu. Ah, ga jelas juga.
Baru bulan Agustus aku posting hasil desainnya di IG. Masih
ada desain yang tidak di-post. Kepikiran buat bikin produk seperti kaos pakai
desain ini. Pas bulan Oktober, Erwan yang baru resign kuliah S2, pingin jualan
kaos. Aku sodorin ide ini dan dia menyambutnya.
Tapi belum bener-bener jalan. Fufufu~
Maklum lah. Kalau udah tua, apalagi dengan kondisi Erwan dan
saya, melangkah jadi kudu hati-hati.
Selama tahun 2024 sampai sekarang aku belum intens mendesain
Aksara Sunda ini. Hanya sesekali saja, dan sesekali posting di IG. Aku tetap
ingin menjadikan ini modal wawasan dan keahlianku.
September Hitam, katanya, dan Aku Melaju dengan BJIR
Tidak, namanya bukan Whoosh tapi BJIR
(Bandung-Jakarta Intercity Railway)! Dan aku tadinya berencana untuk menaikinya
pulang-pergi menuju dan atau saat pulang dari nikahan Adam. Tapi, karena ga
enak pisah sama keluarga, kondisinya ga memungkinkan buat itu. Jadinya, 5
September, aku menghadiahi diri dengan perjalanan ulang tahun ke Jakarta. Ini
perjalanan yang tidak murah juga, kira-kira totalnya sama dengan waktu ke
Surabaya.
Tunggu, ini perlu dicek. Gak. Ke Surabaya jauh lebih
mahal.
Ups. Oke.
Ke Jakarta ini lebih terencana menurutku. Aku sudah kebayang
ingin ke mana. Setidaknya ada dua agenda penting: ke Blok-M yang katanya ramai,
ketemuan dengan Erwan di sana, lalu ke Monas, dengan alasan yang sama dengan
yang 22 Agustus. Aku sebaiknya tidak bilang apa-apa soal tujuan kedua.
Lah. Orang-orang biasa aja tuh dateng ke sana. Lagian
kamu sudah terekam media. Bajunya. Lol.
Bentar dulu. Pokoknya aku ke Jakarta pakai BJIR. Berangkat
dengan angkot ke St. Cimindi, dan menuju St. Padalarang dari sana. St.
Padalarang terhubung dengan St. BJIR, yang memberangkatkanku ke St. Halim. Dan
kereta ini memang cepat. Kenyamanan mungkin sama dengan kereta eksekutif biasa.
Kecepatan terasa. Guncangan... lupa.
Sampai di stasiun, aku nyobain LRT, tapi ke tujuan di Blok M
harus pakai Busway. Jalan-jalan di sekitar Blok M, komplek pertokoan dan mall
yang sangat jadul, juga ke Taman Martatiahahu, dan Mbloc. Komplek Mbloc ini
mernarik, karena kayak konsep 'pertokoan kreatif anak muda', model-modelan The
Hall Kosambi. Sayang aku datang pagi dan sepertinya anak muda Jakarta belum
pada bangun.
Hey, to be fair, kalau kebanyakan anak muda lagi sekolah,
kuliah, atau kerja, ngapain juga buka toko atau cafe buat anak muda pagi-pagi?
Anak muda kan ga nganggur kayak kamu.
Shsh-! Anyway, komplek ini sepertinya disponsori perum
Peruri. Ada Museum Uang di komplek ini. Jalur jalannya diatur. Kayak Ikea. Jadi
kita disodorin semua toko yang ada.
Acara utama sih, makan siang bareng Erwan. Jadi nunggu jam
makan siang dia biar bisa keluar kantor. Kita makan di bakmi viral yang penuh
banget di basement Mal Blok-M. Nunggu lama bet. Lol. Ini men-solidkan prinsipku
buat ga tertarik sama yang viral-viral. Tapi buat pengalaman ok lah, dan
bakminya worth it banget.
Habis makan, aku solat ke masjid di atas Blok M, unik, lalu
sedikit jalan-jalan ke luar sebelum ke MRT menuju Monas. Atau mendekati Monas.
Ulang tahunku ada di sana.
MRT convenient banget. Sayangnya ga bener-bener sampe Monas.
Aku jalan lagi agak lama. Sampai gerbang Monas yang seberangnya istana. Aku
coba masuk Monas, ga dibolehin Satpam. 'Karena ada Paus?' Tanyaku. 'Bukan,'
kata Satpam.
Mungkin karena 'acaramu' itu.
Mungkin? Acaranya belum mulai. Lama-lama orang berbaju hitam
berkumpul. Seorang kordinator membagikan payung dan topeng kertas. Serta papan
teks yang aku ambil tanpa kubaca dulu isinya. Hari ini, orang-orang ini, dan
aku, melakukan ritual mingguan berumur 17 tahun, pada saat itu, untuk menuntut
penuntasan kasus-kasus HAM dan mengakhiri impunitas bagi pelaku pelanggar
HAM.
Topeng Munir yang kupakai ini seperti yang dipakai anak-anak
saat pesta ulang tahun. Balon-balon diganti payung hitam untuk berteduh. Kartu
ucapan adalah papan demo. Aku, yang berulang tahun di tengah peringatan 20
tahun meninggalnya Munir, berdiri di belakang spanduk di sisi jalan. Di hadapan
polisi-polisi muda yang mungkin tidak tahu apa-apa. Mengangkat papan dan
mengarahkannya pada tiap pemotor yang melirik. Semoga menyadari bahwa pesan ini
ditujukan secara khusus pada dia pribadi.
Namun, aku juga baru menyadari bahwa isi papannya: 'PEMBUNUH
MUNIR MASIH BERKELIARAN'
Oke, ini terlalu tendensius. Boleh ganti ga papannya? hehe.
Lol. Emang kamu ini kurang nyali buat hadir di
acara-acara ginian!
Memang sih. Kadang ga tega juga sama polisi. Kadang juga
merasa acara ini, dan aksi-aksi lainnya, ga efektif. Kalau efektif, temen-temen
saya yang lebih paham, dan sudah aktif, di politik bakal ngedukung dan hadir.
Namun, aku merasa harus mengalaminya. Aku ingin tahu
bagaimana rasanya dan suasananya. Tentunya aku juga berharap kehadiranku yang
tak terasa ini bisa membantu. Menambahkan satu angka pada massa yang sudah
besar, untuk dukungan... pada keadilan, pada kemanusiaan.
Ah, aku ragu soal kalimat terakhir. Sedang tidak percaya
pada keadilan dan kemanusiaan.
Itu masalah. Sepertinya itu bukan hal yang kamu pikirkan
waktu itu kan?
Ya. Waktu itu aku masih was-was kalau ketahuan ikut Kamisan
ini. Padahal mah, ga apa-apa kan?
Iya... tapi di negara kayak gini... ga tahu juga.
Juga was-was kalau-kalau ketinggalan kereta BJIR ke Bandung.
Aku belum tahu rutenya. Jadi, setelah nonton beberapa orasi, termasuk ibu-ibu
korban penggusuran yang lupa lagi darimana, pokoknya jauh, aku pergi dari sana
jam 5. Bingung harus ke stasiun yang mana, naik KRL atau busway. Jalan lewat ke
pinggir Istana, ketemu pemuda pake baju hitam, bertanya 'Kamisannya udahan?'
Aku setengah yakin bilang, 'belum'.
Berjalan sampai kaki pegal, ke stasiun yang nyambung ke
halte busway, lupa lagi di mana. Yang jelas, setelah tanya-tanya dan berpikir,
aku pakai busway menuju stasiun LRT, lalu ke stasiun BJIR dari sana. Lama,
penuh sesak di busway. Seakan sebuah pengalaman wajib kalau ke Jakarta sendiri
tanpa mobil pribadi.
Waktu berpacu antara was-was ketinggalan BJIR dan kecepatan
Busway yang segitu saja. Aku memikirkan alternatif yang akan diambil kalau
ketinggalan, sambil mengamati warga-pejuang ibu kota yang di dalam bus dan yang
berlalu-lalang di trotoar. Ritme langkah mereka memang beda dengan Bandung.
Ditempa ritme itu, membuatku melihat seperti ada pembatas yang membingkai
jalan. Bingkai apa itu? Mungkin jadwal keberangkatan Busway dan KRL. Kendaraan
umum yang marak membantu menata gerak kaki mereka. Aku sepertinya tidak akan
mampu mengikuti ritme itu. Tapi katanya, orang harus coba hidup di Jakarta
sekali.
Ah, ternyata aku tidak telat. Ga ketinggalan BJIR, sampai di
Stasiun Padalarang tidak terlalu larut, meski perut sudah lapar, kaki gemetar.
Kembali ke Stasiun Cimindi sebelum jam 9. Pakai Gojek ke rumah.
Apalagi yang bisa kukatakan soal perjalanan ini yang bagi
banyak orang dewasa sudah biasa? Tambahan lainnya bisa dicek di sini.
Atau, kalau bisa cek channel atau sosmed Narasi dan lihat liputan video pendek
yang diunggah pada tanggal 5-7 September soal aksi kamisan, ada yang pakai kaos
reuni pesantren. Itu aku. Mungkin.
Intermezzo: Gagal Bantu Pascasarjana
Sebenarnya salah satu highlight tahun ini dan mungkin juga
tahun sebelumnya adalah ngebantuin Erwan ngerjain Tesis S2-nya. Tesis ini punya
banyak data, dan aku membantu ngolah dan analisis data tersebut. Setidaknya,
bantuin nyediain Erwan dengan tempat dan koneksi internet buat ngerjainnya.
Kadang-kadang dia dateng ke rumah karena bosen di mess. Aku yang udah punya
sertifikat Data Analis merasa tertantang buat bantu ngolah data.
Sayangnya, Erwan akhirnya mengundurkan diri dari program S2
nya di ITB. Padahal kayak udah sering ketemu breakthrough yang
bikin deket ke beres. Erwan ga ngasih tahu alasannya dengan jelas.
Ujung-ujungnya aku juga yang direpotin buat ngambil surat pernyataan
pengunduran diri dari kampus. Lol. Udah dua kali kayak gini sama waktu dulu
ngurus pengunduran diri Akang. Untung ada orang dalem, Mas Nur yang dulu di
ComLabs, sehingga bisa dibantu ngurusnya.
Agak bikin nostalgia waktu kamu hampir mengalami yang
sama?
Hmm... mungkin.
Oktober Balik ke Picnic?
Dari bulan sebelumnnya, Abah sudah memberi tahu bahwa dia
punya rencana untukku kalau belum ada kejelasan. Aku yang merasa udah nyerah
pasrah saja. Sehabis nonton bareng sama Adi, aku udah bilang: 'this is it,
kayaknya aku bakal pergi dari Bandung'. Adi juga tahun depannya bakal nyusul
istri ke Pekanbaru. Erwan juga udah bakal jarang ke Bandung. Dah ga ada teman
di kota ini. Pulang saja.
Makanya aku menurut saat disuruh ngobrol sama orang yang
bakal kerja bareng di sana. Katanya mau bikin semacam unit usaha baru. Mungkin
semacam ‘anak perusahaan’ yang secara struktur di luar PT Herlinah alias
Picnic, tapi secara formalitas, Abah dicatat sebagai direkturnya. Abah ingin
ini jadi peninggalan dia, dan ini diurus olehku.
Dan kamu mengecewakannya.
Belum kesana. Jadi pas ngobrol, yang aku tangkep, mereka mau
bikin unit usaha dagang yang fokus di live shopping. Mereka sharing insight
soal marketnya. Soal Picnic yang presence onlinenya kurang, soal produk makanan
yang cukup laku di live shopping, soal produk dodol curah yang lebih laku di
online daripada Picnic, dan lain-lain. Mereka sudah riset dan punya datanya.
Menarik, tapi aku ga terlalu tertarik. Mungkin aku bisa bantu di tim kreatif,
bagian penjadwalan atau penulisan naskah live shopping. Aku juga ceritain saat
ini kegiatan aku ngapain aja.
Namun, salah satu dari mereka nyelenting, kira-kira begini:
"Kalau udah nyerah sama passion nya, ke sini aja." Seingatku pakai
nada meledek. Mungkin tidak, mungkin tidak bermaksud. Itu selentingan yang
lumrah, dan dewasa, dalam obrolan soal passion. Dilempar sekenanya saja seperti
puntung rokok yang masih ada kecil apinya. Jatuh di hati. Setelah balik ke
Bandung lagi, lama-lama api itu membesar. Semakin aku mempertimbangkan untuk
kerja di sana, semakin lahap api itu makannya. Menjadi bahan bakar, untuk
ngelanjutin proyek latihan bikin game pake Godot yang dimulai Juni kemarin.
Lalu kamu bikin keputusan yang bikin Abah kecewa?
Kita anggap Abah kecewa. Aku kontak orang itu, kalau ga
salah namanya Pa Andi buat nolak gabung. Aku telepon Abah juga. Lupa bilang
apa. Yang jelas, aku lanjutin bikin game pake Godot itu.
Gak lama, Erwan nawarin ide soal bikin kaos, dan menamakan
brand nya CUDDA.
Yang belum jalan.
Bentar lagi! Insyaallah. Ini udah Mei 2025, tapi Insyaallah
jalan.
Tapi, soal kerjaan itu, aku ngerasa aneh juga kenapa aku
ngerasa marah dengan selentingan Pa Andi itu, yang sekarang udah cabut dari
Picnic dan jadi PNS. Padahal, sebelumnya udah nentuin, kalau dalam jangka waktu
sekian aku belum jalan, aku mau nyerah aja dan ikut keputusan Abah. Mungkin
kalau ga disinggung, keputusanku bakal beda.
Lagian, live shopping, aku ga yakin itu sesuatu yang kamu
bisa terima keberadaan dan perannya di masyarakat. Seperti aplikasi atau game
buat anak atau game live service yang ada gacha-nya.
Sepertinya begitu, tapi yang 2 terakhir itu aku masih bisa
tolerir sih.
Intermezzo 1: Kongsi CUDDA
Sedikit nyinggung soal kerjasama bikin kaos dengan Erwan. Jadi
setelah dengar masalahku di atas dan kebetulan dia juga labih butuh tambahan, dia
kepikiran bikin kaos. Lalu aku tawarkan desain Aksara Sunda, dan dia setuju. Sekitar
10 Oktober-an, aku dan Erwan mencetuskan Cudda, yang artinya putih, kata Erwan,
setelah konsultasi ke AI, sebagai nama brand-nya.
Sejujurnya aku kurang yakin dengan usaha ini, makanya aku bilang
hanya mau dianggap sebagai desainer dan punya share kecil di pemodalannya. Dan,
belajar dari kasus Picnic yang ada konflik soal pendiriannya, aku bilang ke
Erwan untuk mencatat kepemilikan saat pendirian. Modal mayoritas dari dia, jadi
bisa dibilang ini adalah brand dan usaha miliknya.
Hingga saat ini belum banyak melangkah. Aku sudah coba bikin
sampel kaos. Ga terlalu buruk. Erwan juga sudah keliling Tanah Abang cari kaos
yang bagus dan coba ngeprint desain yang kubikin. Kesimpulannya: mending cari kaos
di Bandung. Eh ini perkembangan sampai Mei 2025 ya.
Dari awal memang ada beberapa perbedaan pandangan, seperti
aku yang hanya ingin desain estetis sedangkan Erwan ingin desainnya bermakna.
Makanya dia nyaranin bikin desain pakai paribasa Basa Sunda. Erwan juga
nyaranin desain di belakang, tapi aku pikir lebih baik di depan. Aslinya,
tergantung desainnya sih. Ada yang bisa bagus di depan, ada yang bagus di
belakang. Perbedaan kayak gini ga terlalu masalah sih. Karena ini perusahaan Erwan,
aku coba ga terlalu maksain pendapat.
Sebenarnya kepikiran buat pake brand Kasumba saja, tapi
mungkin karena aku ragu ini bisa berhasil…
Juga karena kamu ga berhasil menyampaikan ‘makna’ dari
Kasumba.
Maknanya terlalu personal -_- Intinya brand Erwan aku jadiin
percobaan dulu saja. Mungkin kedepannya Kasumba di pakai dengan ide yang sama,
tapi dengan target market dan desain yang berbeda. Saat ini aku punya banyak
ide. Belum dijalanin.
Intermezzo 2: Tentang Boikot
Oktober ini sudah setahun sejak serangan pejuang Palestina
melintasi Israel dan serangan balasan Zionis yang membabi-buta. Seruan boikot
menggema di seluruh dunia. Well... dunia muslim saja sih, dan sebagian dunia
Barat.
Barat atau Bharaat?
Hush, ga penting! Orang-orang Eropa dan AS yang berada dalam
bubble 'human right activism', 'kiri', dan 'social justice' yang bener-bener
liberal dan bukan berada dalam bubble 'political left', juga menyerukan boikot.
Aku juga masih boikot McD, BK, CocaCola, PizzaHut, tetangga
di Garut...
Hah?
Starbak.
Oh.
Pada dasarnya, aku memboikot franchise makanan cepat saji
dari AS. Tantangan buat ga nonton film Hollywood di bioskop juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh boikot. Disney+ ga diperpanjang, selain karena mahal, juga
karena itu. Sampai sekarang masih begini. Mungkin untuk selamanya. Atau sampai
semampunya saja. Mungkin aku bakal melonggarkan dikit sih.
... oh, ini bridging buat kamu jelasin prinsip-prinsip
yang kamu pake buat boikot.
Ehm. Jadi gini, prinsip nol-nya, dari niatnya, boikot itu
untuk ekspresi solidaritas pribadi aja. Minimalnya begitu. Dan, itu hak tiap
orang. Bukan kewajiban juga. Jadi ga perlu maksa orang buat boikot. Ngajak
boleh, kalau kamu punya niat yang lebih dari ekspresi.
Prinsip kesatu, semampunya aja. Tidak memakai atau
mengkonsumsi sesuatu kayaknya mudah aja. Kayak disuruh diem, yang orang dewasa
sih sudah bisa banget nurut. Tapi, ga juga. Kalau ga makan sesuatu itu gampang,
semuuuaaa orang bakal ga makan babi, ga minum alkohol, gak ngerokok, gak
mengkonsumsi barang haram lainnya. Nyatanya, ga juga. Yang mudah ditinggalkan
seseorang belum tentu mudah buat orang lain. Kalau ngeboikot McD dan anak
ngerengek pingin HappyMeal, ya susah juga. Dan yang aku rasa, mengurangi pilihan
konsumsi ini capek banget. Entah kenapa. Mungkin soal mental.
Prinsip kedua, kalau mau ngefek, fokus pada yang bisa
berdampak. Gampangnya sih, ikutin daftar BDS aja. Gerakan Boycott, Divestment,
and Sanction ini gerakan internasional yang udah ngeriset perusahaan mana saja
yang perlu diboikot agar memberi dampak. Ini cara terbaik saat ini. Soalnya
kalau mau pake prinsip boikot total, menurutku kita bakal perlu boikot semua
produk AS, negara yang ngucurin dana perang buat Israel. Tapi, produk AS di
Indonesia itu mulai dari yang besar seperti mesin dan alat produksi, mungkin,
terus teknologi sehari-hari, seperti perangkat lunak yang kita pakai, sampai
kedelai, yang dibikin jadi tahu dan tempe yang dimakan oleh orang-orang dari
golongan bawah sampai atas di sini. Mustahil boikot semuanya kan? Jadi, fokus
yang ngefek aja.
Saat ini, aku ga tahu boikot sudah berdampak seperti apa.
Beberapa gerai McD, Strabuck, dan kalau ga salah Burger King pada tutup, tapi
aku ga yakin itu murni karena boikot. Beberapa perusahaan, terutama yang di
Indonesia, mulai cuci tangan dengan kegiatan sosial. Mungkin nyumbang ke
Palestina juga. Aku agak ngerasa gak adil sih ngeboikot mereka padahal mereka
cuma pemegang lisensi. Tapi, aku rasa aku perlu merasa aneh kalau dominasi
brand dari Barat dianggap normal. Aku perlu merasa ga wajar kalau tiap nonton
defaultnya nonton Hollywood. Aku perlu menentukan ulang mana yang normal dan
mana yang tidak.
Namun, aku ngerasa hipokrit juga. 90% video yang aku tonton
di YouTube kebanyakan dari channel Barat. Ya, kontennya lebih bagus dan lebih
sreg sih. Aku juga belum pernah sekalipun donasi ke Palestina. Aku baru-baru
ini mengabaikan pengemis di Istiqlal yang bilang dari Palestina. Jadi inget
dulu ketemu 'mahasiswa Palestina' yang minta-minta di Masjid Nabawi tapi
pinginnya duit Rupiah.
Sementara itu, Gaza dan Tepi Barat masih disiksa. Dan aku
kembali mati rasa.
November Resmi Freelance Tanpa Tanda Kutip
Sebelum-sebelumnya, dan sampai sekarang, kalau ditanya
kerjaan, aku selalu jawab freelance. Meski harusnya kata freelance itu dikasih
tanda kutip karena hanya eufemisme buat nganggur. Namun, kali ini aku
memberanikan diri buat mengambil kerjaan proyek Godot yang ditawarkan di
Discord.
Dilihat dari penawaran proyeknya yang sederhana, ga pake
poster, kayaknya studio kecil. Namanya Lunar Interactive. Mereka lagi ngerjain
proyek bikin game dengan voice recognition untuk belajar Bahasa Inggris, tapi
pakai interface kayak 2D pixel RPG. Kalau ga salah, mereka dapat pendanaan.
Lupa lagi dari mana, pokoknya habis menang lomba gitu. Oh, aku mulai lamarannya
akhir-akhir Oktober sih.
Setelah wawancara dan ngobrol-ngobrol singkat, karena mereka
butuh kerja cepet, aku diskusi dengan tim mereka dan kebagian kerjaan UI.
Kerjaan yang seharusnya sederhana. Hari pertama, aku panik. Ga tahu mulainya
harus gimana. Meski demikian, aku bisa maksain buat ngerjain. Sempet
molor-molor juga karena memang masih berat buatku.
Di sisi lain, studio ini pemula banget. Sebagian masih
mahasiswa, sisanya seperti fresh grad yang belum punya banyak pengalaman.
Makanya sering tidak ada kejelasan deadline.
Bukannya itu mah karena kamunya masih nubi?
Eh itu bener, tapi manajemennya jelek, juga bener. Alhasil,
deadline yang tadinya 10 November-an, mundur-mundur sampai lewat tengah
November. Sementara aku mau ikutan tes lamaran ke studio lain. Soal pembayaran,
tidak ada masalah sih.
Habis itu, mereka masih kadang-kadang minta bantuan buat
perbaikan, yang memang tanggungjawabku. Desember, mereka minta bantuan buat
bikin ulang gamenya pakai Unity. Ada masalah ngebuild pas pake Godot katanya.
Aku sanggupi aja. Dan kerjaan ini, yang penjadwalannya masih jelek, nembus ke
Januari 2025.
Pas aku tanya-tanya lagi, studio ini ternyata tipikal studio
muda yang belum bisa, apa ya istilahnya, tegak.
Stabil?
Eh, kalau gak stabil sih seenggaknya flownya masih bisa
'smooth'. Katanya, programmer utamanya cabut dari proyeknya. Entah kenapa.
Masalah internal gitu mungkin. CEO nya bukan orang teknis yang punya pemahaman
dasar yang menyuluruh soal IT dan produk software. Yah, itu yang aku tangkep.
Dan yang aku bikin kasihan, kayaknya mereka ini kejebak di proyek yang deadline
dan scope nya ketarik-tarik sama klien dan atau investor.
Kalau aku merasa lebih senior, dan benar-benar lebih
berpengalaman, mungkin aku bisa kasih saran yang meyakinkan. Namun, saat itu
aku hanya bisa nahan kesel sambil memahami kondisi mereka. Tengah Januari 2025,
aku dibayar lagi lebih mahal. Karena pakai Unity yang bukan keahlianku,
anggapan mereka. Uhm, justru kalau belum ahli harusnya dibayar lebih murah sih.
Padahal aku mintanya lebih kecil, loh. Tapi, ya kalau dikasih lebih... orang
miskin ga boleh milih-milih. Hehe.
Habis itu, aku belum ambil proyek lain lagi. Lagian, belum
ada lowongan proyek lagi di Discord. Apalagi yang pake Godot. Banyaknya
lowongan kerja.
Intermezzo 1: Tes ke Innersight
Innersight ini studio asal Bandung yang dapet pendanaan dari
Telkom kalau ga salah. Soalnya kantornya di Bandung Digital Valley... atau
apalah yang di Telkom University kampus Gerlong. Mau bikin rogue-like
deckbuilder. Makanya tesnya bikin mekanik-mekanik yang ada di card game pake
Unity.
Aku susah fokus juga buat ngerjainnya. Dan meski sudah
ngeberesin, lolos sampai ke wawancara, akhirnya tetep ga lolos rekrutmennya.
Mungkin karena ada yang salah kupahami dari soal tes prakteknya, dan kurang
melengkapi tes dengan penjelasan soal alur berpikir. Atau juga karena pas
wawancara agak terlihat nuntut soal gaji, karena minta 5 juta gitu yah? Atau 10
juta? Lol.
Yah, apapun itu, ini jadi pelajaran juga buatku. Aku jadi
tahu kalau skill ku masih kurang, dan mulai ngerasa kurangnya di mana.
Intermezzo 2: Puasa Sosmed
Agak nyambung soal boikot, tapi ga juga sih, yaitu soal
berhenti pake sosmed. Aku ngerasa terlalu banyak menghabiskan waktu scrolling
di Twitter dan Instagram. Juga, ngabisin mental baca berita buruk dan opini
'jelek'. Soal Twitter, agak terpengaruh juga soal situasi platform itu sejak
diakuisisi Elon. Tapi buatku sih, pindah ke Bluesky juga sama aja. Sampai
sekarang, aku bisa putus dari sosmed. Sesekali cek atau posting di Instagram,
atau cek akun tertentu di Twitter, tapi ga pernah sampai scrolling lama-lama.
Well, ga juga, scrolling buang waktunya pindah ke YouTube Short.
Cih.
Ya kan masa nge-cut YouTube! Penting banget buat belajar,
hiburan, dan background noise! Apalagi di TV kan ga pake USeeTV dan antena ga
banyak nangkep stasiun, jadi hiburan dan berita sumbernya cuma dari situ.
Iya deh. Btw ini ngebuktin kamu bisa berhenti melakukan
sesuatu secara cold-turkey, langsung stop. Meski memang, kamu bakal cari cara
lain buat buang waktu. Lol.
Aku ga bisa ngejelasin perasaan gatel pingin distraksi yang
singkat dan terlihat bermanfaat. Btw, aku masih agak heran kenapa ga pernah
kecanduan TikTok padahal formatnya sama kayak YouTube Short dan Instagram
Reels. Mungkin UI nya terlalu rame, atau budayanya beda banget.
Yah, aku jadi khawatir jadi kurang peduli isu-isu sosial
yang lagi rame, khususnya soal Palestina. Untungnya ada channel Tempo di
YouTube. Plus, masih daftar di newsletter Tempo, jadi rada keupdate soal berita
politik lokal.
Desember Membungkus Semua
Bulan Desember ini mungkin gak ada yang terlalu notable. Aku ngeberesin proyek pribadi pakai Godot yang dimulai Juni. Proyek yang kiranya bakal beres sebulan, eh, berbulan-bulan. Juni - Desember 6-7 bulan lah ya. Tapi, beres, dan bisa dipakai portofolio. Aku sendiri cukup suka dengan hasilnya yang bisa dipakai buat nunjukin skill coding, level design, narrative design, dan writing. Yah, meski tekniknya masih berantakan, gak konsisten, dan mungkin ga menerapkan praktik software development yang benar.
Hasilnya bisa dilihat di sini, dan
catatan detail developmentnya ada di sini.
Aku juga lanjut proyek dengan Lunar Interactive di akhir
tahun.
Jadi, begitu saja tahun 2024 itu?
Begitu saja adalah kata-kata yang tepat. Sebenarnya, tidak
ada yang spesial dibanding tahun lalu. Aku masih merayap, bukan berlari.
Terlalu banyak duduk dan bertekuk di depan layar. Mungkin memang rumah terlalu
nyaman, tapi terlalu takut buat pindah juga. Takut menyia-nyiakan rezeki rumah
yang sudah ada.
Ibadah masih kacau. Pas Ramadahan, ada peningkatan. Dan
perlu disyukuri, kalau shalat sunnah jadi lebih sering sejak itu. Meski secara
umum masih buruk. Setiap shalat, aku sulit untuk tidak membiarkan gerakannya
autopilot.
Aku mencatat hal-hal yang berkesan di tiap bulan agar merasa
ada sesuatu yang bisa mengingatkan pada kehidupan di tahun 2024 ini. Aslinya,
tiap hari kebanyakan hanya bermalas-malasan. Membusuk. Menunggu mati atau nasib
lainnya.
Di sisi lain, aku juga tidak menuliskan hal-hal yang
teringat tapi kupinggirkan. Seperti menemani Abah dan Ibu ke Jogja, liburan
keluarga ke Pangandaran, nikahan Adam di Jakarta... eh btw nama istrinya Eva,
jadi kalau ditanya setua apa aku, aku bisa bilang 'Aku dateng pas nikahan Adam
dan Hawa'. Lol.
Eva. Eve. Hawa. Heh.
Aku juga ga menuliskan soal qurban yang pelayanannya ‘zonk’
di Lazismu Garut. Tadinya ga akan ikut karena lagi seret, tapi setelah didesak
Ibu, aku coba ke sana. Amatir. Tapi, yah, dapet dan langsung dibikin sate.
Meski potongannya ga rapih dan kotor.
Aku juga ga menuliskan buku-buku yang selesai kubaca tahun
ini. Mungkin Killstarter, 1Q84, dan Sjahrir? Lupa, sih, soalnya slow reader.
Hehe.
Begitulah 2024. Tapi 2025 mungkin lebih buruk. 5 Bulan ini,
kebiasan buruk masih sama. Udah lewat Ramadhan, udah relapse ke kebiasaan yang
kurang baik. Mulai joging lagi, ga tahu bertahan sampai kapan.
Dan tulisan ini pun ditunda beresnya sampai selama ini.
Padahal udah pingin nulis hal lain. Rekap tiap bulan di 2025.
Direkap lebih cepat biar ga lupa ya.
Aku ga ingin lupa. Berharap apa aku ini ya? Mungkin buat
evaluasi? Biar aku bisa percaya diri bahwa sedikit banyak aku pernah melakukan
sesuatu dalam hidup. Dan, aku bisa melakukannya lagi lebih banyak. Tapi, sampai
sejauh ini, belum ada efek seperti itu.
Tulisan ini bisa diakhiri dengan nada optimis ga sih?
Atau setidaknya ada harapan atau target hidup di 2025.
Sama seperti 2024: Menemukannya.
Comments